Halaman

    Social Items

Adakah peristiwa-peristiwa unik di bulan Juni 2014?

Ada Apa di Langit Juni 2014?

Astronomy Event - Kali ini, sebagian masyarakat dunia akan melihat suatu fenomena astronomi yang terbilang unik dan langka, apa itu?

3 Juni 11:25 WIB: Bulan berada pada titik apogee dengan jarak 404.956 km.

Tripel bayangan transit 3-4 Juni | Universe Today

4 Juni 01:05 - 02:44 WIB: Fenomena langka yang bernama "tripel bayangan transit" terjadi, yaitu dimana 3 bayangan (saat itu Europa, Ganymede dan Callisto) akan tampak pada permukaan Jupiter. Fenomena ini akan terjadi di Eropa Timur dan Afrika (Indonesia tidak).

6 Juni 03:39 WIB: Bulan berada pada fase separuh awal (perempat pertama).

8 Juni 07:44 WIB: Mars hanya berjarak 1,6 derajat dari Bulan.

10 Juni 01:48 WIB: Okultasi Saturnus akan terjadi di Samudra Hindia Selatan. Di Indonesia, Saturnus terlihat 0.7 derajat dari Bulan.

13 Juni 11:11 WIB: Bulan berada fase purnama (iluminasi 100%).

15 Juni 10:34 WIB: Bulan berada pada titik perigee dengan jarak 362.062 km
               19:57 WIB: Jupiter berada pada jarak 6,3 derajat dari Pollux (dekat dengan kaki langit antara barat dan barat laut).

20 Juni 01:39 WIB: Bulan berada pada fase separuh akhir (perempat ketiga).

20 Juni sekitar 06 WIB: Merkurius berada pada konjungsi inferior (Matahari-Merkurius-Bumi berada pada garis lurus).

Ilustrasi Bumi pada saat titik balik matahari Juni.

21 Juni 17:52 WIB: Terjadi Summer Solstice/titik balik matahari musim panas (kemiringan maksimum bumi condong ke matahari) pada belahan bumi utara, dan Winter Solstice/ titik balik matahari musim dingin (kemiringan maksimum bumi menjauhi matahari) pada belahan bumi selatan. Pada saat itu, daerah Jabodetabek mengalami siang selama ~11 jam 45 menit dan malam selama ~12 jam 15 menit (siang terpendek dan malam terlama selama setahun, sementara di belahan bumi utara sebaliknya).

22 Juni: ISS akan memasuki periode iluminasi penuh, beberapa pengamat dari belahan bumi utara bisa melihat ISS dengan jelas. Fenomena ini mungkin kita sebut sebagai "ISS purnama".

23 Juni 20:00 WIB: Jarak Venus ke Pleiades adalah 5,6 derajat di langit. Pengamat Indonesia tidak bisa melihatnya karena Venus dibawah kaki langit.

24 Juni 19:54 WIB: Venus berjarak sangat dekat dengan Bulan di langit, yaitu 1,3 derajat. Lagi-lagi, dari Indonesia mereka berdua berada dibawah kaki langit.

27 Juni 15:09 WIB: Bulan berada pada fase Bulan Baru (iluminasi 0%).
27 Juni: Akan terjadi puncak hujan meteor Bootid dengan ZHR (banyaknya meteor per jam) bervariasi antara 0-100 pada 22:00 WIB. Pada saat itu, Bootid akan berada di langit barat laut sedikit jauh di atas kaki langit. Hujan meteor ini optimal karena pada saat itu Bulan Baru sehingga sinar bulan tidak menghalangi kecemerlangan hujan meteor.

Sepanjang Juni 2014: Jupiter akan tampak sebagai bintang oranye-kekuningan yang terang sangat dekat dengan kaki langit sebelah barat laut setelah senja hari.

Ada Apa di Langit Juni 2014?

Sejak lama, astronom bertanya-tanya, kapan suhu alam semesta mencapai titik terpanas? Kapan pendinginan dimulai?


(Ilustrasi, Thinkstockphotos)
Astronomy Event - Suhu alam semesta tak selalu sama sepanjang waktu. Pada permulaannya, suhu alam semesta meningkat perlahan hingga pada satu titik mengalami hal sebaliknya: mendingin.

Sejak lama, astronom bertanya-tanya, kapan suhu alam semesta mencapai puncaknya? Kapan pendinginan dimulai?

Riset terbaru ilmuwan dari Swinburne University of Technology mengungkap bahwa suhu semesta mencapai puncaknya 11 miliar tahun lalu. Saat itu, suhunya mencapai 13.000 derajat celsius.

Ilmuwan mengungkap suhu awal alam semesta (3-4 miliar tahun setelah terbentuk) dengan mempelajari gas-gas yang ada di medium antargalaksi.

Pada masa-masa awalnya, semesta memanas karena galaksi-galaksi mulai lahir dan memanaskan lingkungan sekitarnya. "Namun, 11 miliar tahun lalu, 'demam' ini sirna dan semesta mulai mendingin lagi," ucap Elisa Boera, mahasiswa Swinburne Center for Astrophysics and Supercomputing.

"Medium antargalaksi adalah perekam sejarah semesta yang baik, menyimpan memori peristiwa besar, seperti suhu, komposisi, dan perbedaannya selama evolusi semesta," imbuh Boera.

Sementara itu, Boera juga mengoleksi cahaya paling biru yang ditransmisikan oleh atmosfer Bumi, sinar ultraviolet dari 60 kuasar.

Sinar ultraviolet itu berasal dari perkembangan alam semesta selanjutnya. Dengan demikian, ilmuwan bisa mengetahui suhu alam semesta pada perkembangan selanjutnya.

"Sinar itu menunjukkan bahwa semesta mendingin sekitar 1.000 derajat Celsius dalam 1 miliar tahun setelah mencapai titik tertinggi 13.000 tahun lalu," kata Boera. Boera mengungkapkan bahwa pendinginan itu terus berlangsung sampai sekarang.

Apa sebab pemanasan dan pendinginan? Michael Murphy dari Swisburne University yang juga terlibat riset mengatakan, "Kami pikir jawabannya adalah helium."

Murphy mengatakan, 14 persen dari gas antargalaksi adalah helium. Dan, pada 12 miliar tahun lalu, gas itu menyerap radiasi dari galaksi, kehilangan elektron dalam prosesnya.

Elektron itulah yang kemudian memanaskan gas, persis seperti bagaimana karbon dioksida membuat Bumi semakin panas. Dalam prosesnya, hidrogen terus terionisasi. Semesta juga terus mengembang. Alhasil, setelah suhu alam semesta mencapai titik terpanasnya itu pun, semesta mendingin.

11 Miliar Tahun Lalu Terjadi "Pemanasan Universal"

Bintik merah raksasa tersebut merupakan badai atmosferik permanen yang diketahui terjadi di belahan selatan Jupiter selama 400 tahun.


Penyusutan bintik merah raksasa yang diamati pada tahun 1995, 2009 dan 2014 (NASA, ESA, & A. Simon/Goddard Space Flight Center).
Astronomy Event - Jika kita mengamati Jupiter, maka ada bintik raksasa yang menjadi ciri khas planet terbesar di Tata Surya tersebut. Bintik merah raksasa tersebut merupakan badai atmosferik permanen yang diketahui terjadi di belahan selatan Jupiter selama 400 tahun. 

Badai tersebut pertama kali dilihat oleh Giovanni Cassini pada akhir 1600-an atau sekitar tahun 1665 meskipun para ilmuwan meragukan karena pada sata itu, badai tersebut baru saja terbentuk. Cakupan badai raksasa ini cukup luas. Seratus tahun lalu, badai raksasa tersebut meliputi area seluas 40.000 kilometer dan tampaknya saat ini badai tersebut menyusut dan dipekirakan pada tahun 2040 badai yang tadinya berbentuk oval akan tampak berbentuk lingkaran.

Tapi apakah terjadi percepatan? Pengamatan terbaru dari Teleskop Hubble milik NASA/ESA menunjukkan kalau penyusutan yang terjadi tampaknya mengubah ukuran badai tersebut dengan cukup mencolok. Setidaknya saat ini badai tersebut tampak pada ukurannya yang paling kecil yang pernah diamati.

Badai antisiklon berputar di planet gas raksasa tersebut tampak seperti mata merah tua mencolok yang melekat pada lapisan berputar yang berwarna kuning pucat, oranye dan putih. Badai di Jupiter tersebut mengamuk dengan kecepatan yang sangat tinggi, mencapai beberapa ratus kilometer per jam.

Pengamatan di akhir tahun 1800-an menunjukkan kalau bintik tersebut memiliki diameter yang cukup lebar yakni 41000 km. Ukuran itu cukup untuk mengisi 3 Bumi di dalamnya. Di tahun 1979 dan 1980, wahana Voyager milik NASA yang melakukan Flyby melakukan perhitungan dan memperlihatkan kalau bintik tersebut memiliki diameter 23.335 kilometer.

Pengamatan terakhir Hubble menunjukkan ukuran yang jauh lebih kecil dari sebelumnya yakni kurang dari 16.500 kilometer. Ukuran ini merupakan diameter terkecil dari Bintik Merah Raksasa yang pernah diamati. Tapi kondisi ini seharusnya sesuai dengan fakta pengamatan astronom amatir yang menunjukkan bahwa sejak tahun 2012 terjadi peningkatan laju penyusutan sekitar kurang dari 1.000 km/jam. Sayangnya, penyebab penyusutan masih belum diketahui.

Dalam pengamatan terbarunya, Teleskop Hubble melihat ada pusaran kecil yang masuk ke dalam badai dan diperkirakan pusaran inilah yang mengubah dinamika internal bintik dan memicu terjadinya perubahan percepatan.

Bintik Merah Raksasa Jupiter Mengalami Penyusutan

Nebula Homunculus merupakan salah satu nebula tipe emisi yang indah, tapi pertanda akan munculnya ledakan maha dahsyat.


Nebula Homunculus | NASA

Astronomy Event - Dari kejauhan 7.500 tahun cahaya (70.906.804.000.000.000 Km) dari permukaan Bumi di konstelasi Carina, ada sebuah awan kemerahan yang menyelimuti sebuah titik biru terang. Awan tersebut adalah Nebula Homunculus dan yang diselimutinya adalah bintang sekarat yang dinamakan Eta Carinae.

Nebula Homunculus dipercaya sebuah gas yang dimuntahkan oleh Eta Carinae. Cahaya dari kejadian ini sampai ke Bumi pada tahun 1841, menghasilkan cahaya yang sangat terang dan menjadikan Eta Carinae bintang paling terang di langit malam kedua setelah Sirius.

Nebula berbentuk seperti kacang ini membesar menjauhi Eta Carinae dengan kecepatan 670 km/detik, 1.600 kali lebih cepat daripada peluru. Sekarang, terangnya nebula ini hanya memiliki magnitudo 6,21, redup tapi masih bisa dilihat oleh mata telanjang, tapi akan lebih baik dilihat oleh binokuler atau teleskop.

Sangat indah, namun menjadi pertanda akan adanya ledakan maha dahsyat dari asalnya. Eta Carinae merupakan bintang yang sedang berada di masa akhir hidupnya dan tidak stabil. Bintang ini begitu tidak stabil sehingga suatu saat akan menimbulkan angin bintang yang begitu kuat hingga merobek lapisan luarnya dan memuntahkannya ke angkasa. 

Diperkirakan ribuan tahun kedepan bintang ini akan meledak sebagai hipernova, ledakan yang lebih besar daripada supernova.

Ingin menambahkan nebula "kacang" sebesar tata surya yang indah ini dalam menu observasi kalian?

Nebula Homunculus, Sebuah Hasil Erupsi Eta Carinae

Kita mengatakan panjang tahun di Bumi adalah 365 hari, tapi mengapa kita tahu?

Orbit Bumi

Astronomy Event - Jika kita mengatakan panjang satu tahun adalah 365 hari di Bumi, mungkin kita harus bertanya "apa itu tahun?". Satu tahun adalah periode waktu yang dibutuhkan suatu benda untuk mengorbit benda lain. Jadi satu bulan Bumi sama dengan "tahun bulan" (27.3 hari).

Di Bumi sendiri, ada beberapa cara yang berbeda untuk menentukan tahun. Ada 3 cara yang dibahas di sini.

Waktu yang dibutuhkan untuk kemiringan sumbu Bumi untuk kembali ke sudut yang sama relatif terhadap matahari atau waktu yang dibutuhkan untuk matahari melintasi garis ekliptika dalam satu putaran penuh disebut sebagai tahun tropikal (365,24219 hari atau 365 hari 5 jam 48 menit 45 detik)

Waktu yang dibutuhkan Bumi untuk mengorbit satu putaran penuh relatif terhadap matahari atau suatu bintang yang terbit dari belakang matahari untuk terbit lagi disebut sebagai tahun sidereal (365,256363004 hari atau 365 hari 6 jam 9 menit 9,76 detik) .

Waktu yang dibutuhkan Bumi yang berada di perihelionnya untuk berada di titik perihelionnya selanjutnya disebut sebagai tahun anomalistik.(365,259636 hari atau 365 hari 6 jam 13 menit 52,6 detik)

Ketiga tahun ini memiliki panjang tahun yang berbeda, tapi kebanyakan kalender kita sekarang mengikuti tahun tropikal, karena durasinya didefinisikan oleh kemiringan sumbu Bumi dan juga menentukan berjalannya musim.

Setiap planet atau objek di alam semesta memiliki panjang tahun yang berbeda-beda, misalnya Merkurius memiliki panjang tahun kira-kira 88 hari Bumi, tahun Jupiter kira-kira 12 tahun Bumi, tahun Saturnus kira-kira 29.5 tahun Bumi, tahun Neptunus kira-kira 165 tahun Bumi, dan tahun galaktik (periode waktu yang dibutuhkan tata surya untuk mengelilingi pusat Galaksi Bimasakti satu putaran penuh) kira-kira 225 juta tahun.

Berbagai macam tahun digunakan untuk berbagai kepetingan masing-masing. Mungkin kalian akan menggunakan salah satu diantaranya?


Apa itu Tahun?

Mungkinkah manusia hidup di planet ini? Karena GU Psc b merupakan planet gas, jawabannya jelas tidak.


Manusia bisa hidup di Bumi selama puluhan tahun. Namun, bila manusia hidup di planet GU Psc b, umurnya takkan sampai sehari! Apa sebabnya?

GU Psc b adalah planet yang mengorbit bintangnya dengan jarak yang super jauh, 2.000 kali jarak Bumi-Matahari, atau sekitar 300 miliar kilometer.

Akibat jarak yang jauh, waktu yang diperlukan oleh planet itu untuk mengorbit bintangnya, GU Psc, jauh lebih lama. Setahun di planet itu sama dengan 80.000 tahun di Bumi.

GU Psc dan GU Psc b adalah bintang dan planet yang ditemukan oleh Marie-Eve Naud, pelajar doktoral dari Universitas Montreal di Kanada.

Naud melakukan pengamatan pada kluster bintang bernama AB Doradus, kluster yang terdiri dari bintang-bintang berusia 100 juta tahun yang mengelompok dan bergerak bersama.

Pengamatan dilakukan di Observatoire Mont-Megantic. Hasil penelitian dipublikasikan di The Astrophysical Journal.

GU Psc b adalah planet gas raksasa, berukuran 9 - 13 kali Jupiter. Jadi, ukurannya jauh lebih besar dari Bumi. Rene Doyon, direktur dari Observatoire Mont-Megantic, mengungkapkan, "GU Psc b benar-benar merupakan hadiah alam."

Dengan jarak yang super jauh dari bintangnya, planet ini bisa diobservasi dengan beragam instrumen sehingga memungkinkan ilmuwan memahami lebih banyak tentang planet gas raksasa.

Sementara itu, Etiene Artigau, salah satu supervisor Naud, mengatakan, "Planet ini adalah keanehan dalam sistem keplanetan."

Ia bersama mahasiswa dan sejumlah rekan mengamati lebih dari 90 bintang dan hanya menemukan satu planet.

Mungkinkah manusia hidup di planet ini? Karena GU Psc b merupakan planet gas, jawabannya jelas tidak.

Meskipun demikian, planet ini memberi gambaran tentang betapa kecilnya Tata Surya dan uniknya masing-masing sistem keplanetan yang ada di alam semesta.

Sebelumnya, sempat ditemukan tata surya paling ramping di alam semesta di mana lima planet bergerombol di dekat bintangnya.

Di Planet Ini, Setahun Sama Dengan 80 Millenium

Mesin kontrol roket itu gagal 545 detik setelah lepas landas, dan roket jatuh kembali ke Bumi.

Roket Proton Rusia membawa satelit komunikasi AS ke orbit (RIA Novosti)
Astronomy Event - Sebuah roket Proton Rusia yang membawa satelit buatan Eropa jatuh kembali ke Bumi, pada hari ini, Jumat (16 Mei 2014), tak lama setelah lepas landas.

Insiden ini merupakan kecelakaan terbaru yang menghantam industri antariksa yang pernah menjadi kebanggan negara tersebut.

Sejumlah pejabat antariksa Rusia mengatakan, mesin kontrol roket itu gagal 545 detik setelah lepas landas dari pusat ruang angkasa Baikonur di Kazakhstan yang disewa Moskwa.

Televisi pemerintah memperlihatkan roket itu dan satelit komunikasi Express-AM4P yang dilaporkan bernilai 29 miliar dollar AS terbakar di lapisan atas atmosfer di atas Samudera Pasifik. "Kami menghadapi sebuah situasi darurat," kata seorang komentator penerbangan Rusia di televisi Channel One. "Penerbangan ini telah berakhir," tukasnya.

Badan antariksa federal Rusia, Roscosmos, mengatakan pihaknya telah membentuk komisi khusus "untuk menganalisa data telemetrik dan menemukan alasan bagi situasi darurat tersebut."

Channel One mengatakan, satelit itu, yang dibangun buat Rusia oleh perusahaan Airbus Group, Astrium, dimaksudkan untuk menyediakan akses internet bagi wilayah Rusia pedalaman yang punya akses buruk untuk komunikasi.

Sebelumnya, pada Oktober 2013, Rusia memecat Kepala Roscosmos, Vladimir Popovkin, setelah kurang dari dua tahun menduduki posisi itu, karena serangkaian kegagalan peluncuran dan insiden memalukan lain dalam industri antariksa yang kekurangan dana tetapi sangat dibanggakan negara itu.

Kepala Roscosmos yang baru, Oleg Ostapenko, telah ditugaskan Presiden Vladimir Putin untuk merombak seluruh sektor dengan dana miliaran dolar yang berasal dari kas negara.

Roket Proton Buatan Rusia Gagal Meluncur

Seorang animator membuat video perumpamaan seperti apa wajah Saturnus tatkala mendekati Bumi kita.


Bila sangat dekat dengan Bumi, Saturnus, planet gas raksasa kedua terbesar di Tata Surya itu bakal lebih terang dari bulan purnama. (Foto: Yeti Dynamics)

Astronomy Event - Saturnus, si planet bercincin, tak terkira indahnya. Bagaimana bila Saturnus mendekati planet kita? Seperti apa wajahnya?

Nick, seorang animator lewat Yeti Dynamics, membuat sebuah video untuk menggambarkan wajah Saturnus apabila memang mendekati Bumi. Video diunggah di Youtube, 3 Mei 2014 lalu.

Bila saja Saturnus berada di tempat yang kini dihuni Mars, 225 juta kilometer dari Bumi, planet gas raksasa kedua terbesar di Tata Surya itu akan lebih terang dari bulan purnama.

Cerlangnya Saturnus terjadi karena planet itu mampu memantulkan sinar Matahari 4 kali lebih banyak dari Bulan.

Walau saturnus tetap akan tampak lebih kecil dari Bulan, manusia di Bumi bakal bisa melihatnya tanpa teleskop, termasuk mengobservasi bulannya—Titan.

Bila Saturnus bergerak lebih dekat lagi, maka planet itu bakal mampu menerangi bagian gelap Bulan. Bahkan, manusia bisa melihat umbra dan penumbra Bumi.

Mengabaikan gravitasi, jika Saturnus terus bergerak mendekat, manusia bakal bisa melihat sisi gelapnya. Cincin Saturnus bakal terlihat berbeda. Tentu saja, video tersebut hanya pengandaian. Saturnus tetap nyaman di orbitnya, berjarak paling dekat 1,3 miliar kilometer dari Bumi.

Saturnus tidak akan bergerak hingga mencapai wilayah Mars, apalagi sangat dekat sehingga tampak seperti dalam video Nick. Saturnus bisa dilihat dengan mata telanjang, tampak berupa titik kecil. Untuk observasi lebih detail, manusia harus menggunakan teleskop.

Mendekati Wajah Saturnus

Dalam pencarian planet habitat baru maka yang harus dicari adalah tanda-tanda dari komponen petunjuk kehidupan di Bumi yakni air, oksigen, dan klorofil.


Mencari tanda-tanda kehidupan Bumi pada planet kembar ekstrasolar. (Kredit: PHL, UPR Arecibo)
Astronomy Event - Dalam 20 tahun semenjak eksoplanet berhasil dideteksi, astronom terus mencari planet saudara kembar Bumi yang sedang mengorbit bintang lain. Impiannya tetap sama: menemukan planet habitat baru.

Kalau memang mencari planet "Bumi yang lain", maka tentu yang diharapkan adalah planet dengan air yang berlimpah, gas oksigen dalam jumlah besar dan klorofil atau sesuatu yang serupa dengan klorofil.

Mengapa air, oksigen dan klorofil penting? Kalau manusia ingin menemukan kehidupan seperti yang dikenal di Bumi maka tentu yang harus dicari adalah tanda-tanda dari komponen pendukung kehidupan yang ada di Bumi. Tanpa mengenali komponen penting yang mendukung kehidupan di Bumi di planet asing itu, bagaimana kita bisa tahu dan menebak bahwa disana mungkin ada kehidupan?

Karena itu para astronom saat ini masih fokus mencari planet yang bisa mendukung keberadaan lautan atau air dalam wujud cair di permukaan planet.

Beberapa planet laik huni berdasarkan lokasinya di area laik huni bintang memang sudah ditemukan. Dan diyakini masih ada banyak planet kebumian yang berada di area laik huni bintang yang belum terdeteksi.

Namun ada pertanyaan lain. Seandainya suatu waktu kelak manusia menemukan planet serupa Bumi mengorbit bintang lain dan di sana ada air, oksigen dan klorofil, bagaimana para astronom bisa mengenali ketiga tanda pendukung kehidupan tersebut?

Timothy Brandt dan David Spiegel dari Institute for Advanced Study at Princeton University, New Jersey melakukan penelitian dan pemodelan untuk mengenali kehadiran komponen-komponen pendukung kehidupan tersebut di masa depan saat teleskop diarahkan pada planet yang jadi kembaran Bumi.

Para astronom juga menyadari bahwa molekul seperti air, oksigen dan ozon memiliki efek pada cahaya – ketiganya menyerap cahaya pada panjang gelombang antara 500 - 1000 nanometer (dari hijau ke dekat inframerah). Molekul-molekul tersebut merupakan penyerap yang paling menonjol di rentang spektral tersebut, sekaligus juga merupakan tanda penting yang bisa memberi petunjuk kehidupan kebumian.

Selain itu, pada area 1 - 4 mikrometer, spektrum Bumi didominasi oleh fitur serapan air dan beberapa fitur lebar yang tumpang tindih yang dihasilkan oleh karbon dioksida dan metana. Seandainya saja ada exoplanet yang serupa Bumi, maka cahaya bintang yang dipantulkan permukaan planet akan memiliki tanda dari gas tersebut.

Untuk bisa mengatahui apakah tanda-tanda kehadiran air, oksigen dan ozon bisa dideteksi atau tidak, Timothy Brandt dan David Spiegel membangun pemodelan yang bisa menunjukkan bagaimana cahaya akan dipantulkan dari permukaan planet serupa Bumi tersebut.

Untuk kebutuhan pemodelan, dibangun studi kasus untuk planet dengan beberapa kondisi. 
Yang pertama adalah planet es dan padang gurun sedangkan model lainnya adalah Bumi dengan daratan, vegetasi dan lautan. Pada kedua model tersebut, diterapkan juga studi perbandingan jika keduanya diliputi awan yang menutupi 50 persen permukaan planet dan planet tanpa awan.

Dari kedua model tersebut, mereka bisa menghitung efek yang ditimbulkan molekul-molekul tersebut pada spektrum pantulan cahayanya.

Hasil pemodelan yang dilakukan ternyata sangat menarik. Air menjadi molekul yang paling mudah dikenali. Tapi agar teleskop landas angkasa bisa mengenalinya, dibutuhkan kemampuan untuk mengatasi kontras antara planet dan bintang induknya. Teleskop juga harus mampu untuk mengenali spektrum pantulan dari planet dan bisa memisahkannya dari pita serapan air. Untuk bisa mengenali air, teleskop landas angkasa yang ada sata ini sudha memiliki kemampuan tersebut.

Kalau air mudah dikenali, tidak demikian dengan oksigen. Perhitungan Timothy Brandt dan David Spiegel menunjukan kalau astronom membutuhkan teleskop landas angkasa yang memiliki kemampuan lebih baik dari yang ada sekarang. Selain itu, untuk bisa mendeteksi oksigen juga dibutuhkan kemampuan 3 kali lebih baik dari pendeteksian air.

Yang lebih susah lagi adalah untuk mengenali klorofil. Spektrum yang dipantulkan Bumi mengandung "tepi merah" yang dihasilkan oleh penyerapan cahaya merah oleh kloforil. Pertanyaannya, apakah molekul serupa klorofil bisa bekerja pada panjang gelombang yang berbada?

Jika tidak, maka tanda keberadaan klorofil akan sangat sulit dikenali dan untuk itu, perancangan misi masa depan harus lebih sensitif untuk mengenali klorofil asing di dunia baru.

Menurut Timothy Brandt dan David Spiegel, perancangan misi masa depan harus dimulai dari pencarian air dan oksigen pada planet-planet yang punya kemiripan dengan Bumi dan pencarian klorofil akan menjadi pekerjaan rumah bagi misi di masa depan.

Mencari Petunjuk Kehidupan Di Luar Bumi

Kita mengatakan hari sebagai lamanya bumi berputar pada porosnya satu kali yaitu 24 jam. Namun panjang hari di Bumi semakin lama semakin panjang.

Ilustrasi Bumi yang berputar pada porosnya | Wikimedia

Astronomy Event - Hari ini, detik ini, jika kita bertanya berapa panjang hari, semua orang akan bilang 24 jam. Tapi, jika kita bertanya dengan pertanyaan yang sama pada orang-orang di masa lalu dan masa depan, mereka tidak akan menjawab 24 jam. Mengapa bisa begitu?

Panjang hari di masa lalu, sekarang dan di masa depan berbeda karena rotasi Bumi melambat setiap waktu, membuat panjang hari semakin panjang. Hal ini disebabkan oleh gaya pasang surut dari gravitasi Bulan. Gaya ini menghambat rotasi Bumi

Panjang hari di masa lalu dan di masa depan
4.54 miliar tahun lalu, debu dan batu-batu asteroid mengumpul dan memadat karena gaya gravitasi dan pada akhirnya membentuk planet yang kita sebut sebagai Bumi.

Namun saat 4.45 miliar tahun lalu, Sebuah planet seukuran Mars bernama Theia (Theia dalam mitologi Yunani adalah ibu dari dewi Bulan) menabrak bumi. Tabrakan tersebut melontarkan trilliunan ton batuan ke angkasa. Pada akhirnya, gravitasi membuat batuan-batuan tersebut membentuk cincin di sekitar Bumi dan mengumpul akibat gravitasi untuk membentuk Bulan.

Tabrakan tersebut membuat Bumi berputar lebih cepat (Sama halnya jika kita memberikan gaya searah dengan arah rotasi sebuah globe membuat globe berputar lebih cepat.). Saat itu, matahari akan terbenam hanya 2,5 jam setelah terbitnya, artinya panjang hari Bumi hanya 5 jam.

Gaya pasang surut Bulan memperlambat rotasi Bumi setiap saat. 1.5 milliar tahun lalu saat koloni bakteri yang di sebut Stromatolites memompa oksigen ke atmosfer, panjang hari di Bumi adalah 16 jam. 540 juta tahun lalu, saat ledakan spesies zaman cambrian, panjang hari adalah 20 jam. Dan saat dinosaurus mendominasi Bumi, panjang hari adalah 23 jam.

Gaya pasang-surut (atau gravitasi) Bulan memperlambat rotasi Bumi

Perlambatan rotasi bumi akan terus berlangsung hingga 270 miliar tahun kedepan, Bumi akan berputar sama cepatnya dengan gerak Bulan mengelilingi Bumi, berarti satu sisi Bumi selalu menghadap Bumi (hal ini di sebut sebagai tidal locking). Saat itu panjang hari di Bumi sama panjang dengan kala revolusi Bulan (27,3 hari/siang dan malam masing-masing berlangsung hampir 2 minggu).

Namun, tidal locking diperkirakan tidak akan terjadi karena Bulan semakin menjauh dari Bumi sehingga kecepatan melambatnya rotasi Bumi semakin turun.

Bulan sudah mengalami tidal locking, menyebabkan panjang hari dan kala revolusinya sama (27,3 hari). Tidal locking di Bulan mungkin akibat gaya pasang surut dari gravitasi Bumi. Jika itu benar maka gaya pasang surut dari Bumi 6 kali lebih besar akan memperlambat rotasi Bulan 6 kali lebih cepat dari Bumi sehingga Bulan mengalami tidal locking lebih cepat dan menjadi contoh tidal locking terdekat dari Bumi.

Saat ini, panjang hari di Bumi akan lebih panjang 1.4 milidetik (0.0014 detik) per 100 tahun. Apakah kalian bisa merasakan hari menjadi lebih lama? Sepertinya tidak.

Bumi Berputar Semakin Lambat

Rocket

Rp250.000,-   Rocket SEKALI INSTALL DI BLOGSPOT RATUSAN PRODUK SIAP HASILKAN UANG Senjata Para Pebisnis Affiliate TAHUKAH ANDA BAHWA - Siapa...

Subscribe Our Newsletter